Kamis, 22 April 2010

Catatan Empat Tahun Kinerja Perekonomian Pemerintahan SBY – JK

Empat Tahun pemerintahan SBY – JK, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pasang surut. Diawal pemerintahan pada Oktober 2004 hingga tahun 2006, pemerintahan SBY – JK (berkaca pada pencapaian pertumbuhan tahun 2005 dan 2006) mensia-siakan momentum percepatan pertumbuhan yang telah diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya (Megawati Soekarno Putri). Stabilitas Ekonomi dan Akselerasi Perekonomian yang telah dicapai oleh pemerintahan Megawati tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan SBY – JK untuk melakukan pencapaian percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007, momentum percepatan sudah kembali hadir yang dapat dilihat pada pencapaian target pertumbuhan mencapai 6.3 persen meskipun kondisi ini masih sangat riskan dipertahankan dengan memperhatikan gejolak global (kenaikan harga minyak dan komoditas pangan) yang sedang terjadi di akhir-akhir penghujung tahun 2007 hingga saat ini dan juga bergantung ketahanan perekonomian domestik Indonesia sendiri. Momentum yang relatif sudah kembali ini, akan dapat dipertahankan apabila kondisi menyeluruh perekonomian yang dicapai dengan pencapaian pertumbuhan 6.3 persen pada tahun 2007 mampu bertahan kokoh menghadapi gejolak eksternal (global) yang sedang terjadi hingga tahun 2008.

grafik-11

Apabila kita berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu menciptakan stabilitas ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan tidak disia-siakan oleh pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya, maka pencapaian target pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007 tidak tak mungkin dapat teralisasi.

Gejolak perekonomian global yang dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika Serikat, bergejolaknya harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta krisis finansial global yang sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi pemerintahan sekarang untuk melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali tersebut. Keberlanjutan momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya daya tahan perekonomian yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila kualitas dan daya tahan perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan angka pencapaian pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka kondisi perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas gejolak eksternal yang sedang terjadi.

Pola Pertumbuhan Sektoral

Selama empat tahun terakhir, pola pertumbuhan sektoral masih menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara sektor tradable dan non-tradable. Pertumbuhan sektor tradable yang relatif jauh dibawah pertumbuhan PDB, sebaliknya pertumbuhan non-tradable yang selalu jauh diatas pertumbuhan PDB.

grafik-21

Sektor yang mencapai pertumbuhan terbesar pada sektor non – tradable adalah sektor Transportasi dan Komunikasi yang mencapai rata-rata hampir 14 persen pada empat tahun terakhir. Sedangkan di sektoral tradable, sektor manufaktur memiliki pertumbuhan tertinggi secara rata-rata pada 4 tahun terakhir.

Pola pertumbuhan sektor yang menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin melebar menimbulkan suatu kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan Sektoral tradable dan non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah melalui tahapan industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam tahap pematangan di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan industrialisasi, peranan sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40 persen dari PDB, akan tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor manufaktur masih dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki kecenderungan stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun penerunannya tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor manufaktur mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami de-industrialisasi dini.

Kondisi kecenderungan makin melebarnya kesenjangan sektor tradable dan non-tradable dan stagnan serta relatif kecenderungan menurunnya sektor manufaktur menandakan kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sangat sulit diharapkan memberikan dampak berarti bagi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan pendapatan.

Sumber : http://www.google.com