Rabu, 13 Oktober 2010

5 PAKET DEREGULASI PERBANKAN

• Paket Juni 1983
Inilah langkah penting deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu juga memperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis.
• Paket 27 Oktober 1988
Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan sumber daya manusia yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
• Paket Februari 1991
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.

• Paket Mei 1993
Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Pakmei yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar delapan persen. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari laba tahun lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri.
Soal penyaluran kredit juga diatur. Antara lain, pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50 persen menjadi hanya 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Ketentuan lain, cadangan minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar. Pelonggaran itu jelas menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit kecil juga diatur. Pakmei memberikan kebebasan bagi bank untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp 25 juta tanpa melihat penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.

• Paket Juli 1997
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi. Bayangkan, pertumbuhan kredit secara umum antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit properti 35 persen.
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa.





 KESIMPULAN
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut. Sebelum adanya paket deregulasi keadaan perekonomian di Indonesia khususnya dibidang perbankan mengalami kondisi yang kurang adil bagi bank yang bukan milik pemerintah, ketidak adilan itu antara lain hanya bank- bank milik pemerintah yang mampu menggunakan fasilitas khusus yang disediakan pemerintah antara lain: mendapatkan kredit likuiditas bank Indonesia (KLBI), dan juga banyak menanggung program- program pemerintah. Dengan demikian pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Selain itu pula salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. Oleh karena itu dengan adanya deregulasi perbankan, keadaan perbankan, milik pemerintah maupun swasta dapat meningkat lebih baik.

Sumber : www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar